MARI KITA HIJAUKAN DENGAN HUTAN BUMI WIRALODRA DEMI MENCEGAH GLOBAL WARMING (PEMANASAN GLOBAL)

Kamis, 28 Januari 2010

Kasus Pembalakan Liar di Indramayu Cenderung Meningkat

PEMBALAKAN LIAR INDRAMAYU

Pencurian Kayu Marak

INDRAMAYU, Hutbun Indramayu - Selama tahun 2009 terjadi 19 kasus pencurian kayu di kawasan hutan milik Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Indramayu, Jawa Barat.

Kepala Administratur Perum Perhutani KPH Indramayu Budi Sohibudin, Rabu (27/1), menyebutkan, dari 19 kasus pencurian kayu selama 2009, terdapat 15 kasus yang telah diproses polisi dan 11 kasus telah divonis. Jumlah kasus itu lebih banyak daripada tahun 2008, yaitu 11 kasus dengan 10 kasus telah divonis.

Budi menjelaskan, pelaku tergiur mencuri dan menjual kayu jati untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama pada musim paceklik dan musim hajatan. Kayu jati curian dijual Rp 20.000-Rp 50.000 per batang.

Pencurian kayu semakin dipermudah dengan bagusnya akses di sekitar hutan Indramayu, termasuk jalur Cikamurang-Sanca-Bantarwaru, yang menghubungkan Indramayu dengan Subang dan Sumedang. Pencuri umumnya menebang pohon pada petang hari dan menjelang fajar, lalu membawanya dengan sepeda, sepeda motor, atau mobil untuk dijual kepada penadah.

Komandan Regu Keamanan KPH Indramayu Utom Priatna menambahkan, pengawasan sudah ditingkatkan, termasuk melibatkan masyarakat desa yang peduli hutan. Namun, pencurian kayu tetap banyak muncul, terutama di empat lokasi, yaitu di Resor Pemangku Hutan (RPH) Cipondoh, Jati Mulya Selatan, Sanca, dan Cikamurang. (tht)***

Source : Kompas, Kamis, 28 Januari 2010 | 03:15 WIB

Ada 1 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

suraryo @ Kamis, 28 Januari 2010 | 10:27 WIB
Itu namanya petugasnya memble.

Senin, 25 Januari 2010

Pengabdian Lurah Tata Menghijaukan Pantai Desa Sungaibuntu, Kabupaten Karawang

TATA HUSEN. (Foto:Kompas/Mukhamad Kurniawan)***

Lurah Tata, "Sabuk Hijau" Sungaibuntu

Gelombang laut bagi sebagian warga pesisir utara Pulau Jawa serupa dengan musuh yang terus menggempur. Terjangannya merenggut tambak, bangunan, bahkan jalan. Kenyataan itu membuat Tata Husen miris. Dia pun tergerak untuk terus berjuang menahan laju abrasi.

Oleh Mukhamad Kurniawan

Usahanya menghijaukan kawasan pantai Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sejak tahun 2003 kini berbuah manis. Kawasan yang dulu sepi itu bahkan berevolusi menjadi obyek wisata pantai yang diminati pengunjung.

Setiap hari libur, seperti hari raya dan tahun baru, kawasan pantai Desa Sungaibuntu dikunjungi 1.500-2.000 orang. Pada akhir pekan mencapai ratusan orang. Selain itu, ada 32 warung yang buka pada Sabtu-Minggu dan ratusan pedagang dadakan pada hari libur nasional.

Warga desa merasakan dampak ekonomi dari perubahan itu. Pengelola tiket, petugas keamanan, penyedia jasa perahu, dan mayoritas pedagang di kawasan tersebut adalah warga dari sejumlah kampung di Desa Sungaibuntu.

Suasana itu sangat kontras jika dibandingkan dengan sebelum tahun 2003. Ketika itu, jalan menuju kawasan pantai rusak, tambak-tambak gersang, dan tidak ada rumah makan atau warung masakan laut di tepi pantai. Daratan terus digempur ombak dan sebagian telah lenyap tergerus.

”Enam tahun lalu belum ada ’kehidupan’ di sini, jarang ada orang yang sengaja datang kecuali para pemilik dan buruh tambak,” ujar Lurah Tata, panggilan Tata Husen.

Ketika itu orang lebih suka datang ke Pantai Pisangan di Kecamatan Cibuaya (sekitar tiga kilometer arah barat Desa Sungaibuntu), Pantai Tanjung Baru di Kecamatan Cilamaya Kulon (17 kilometer arah timur dari Sungaibuntu), atau ke Pantai Tanjung Pakis di Kecamatan Pakisjaya (30 kilometer dari Sungaibuntu).

Tanam pohon

Usaha Tata membangun kawasan pantai dimulai dengan menanam pohon bakau, api-api, dan ketapang. Dia yakin deretan pohon yang tumbuh mengakar akan menjadi benteng penahan abrasi yang tangguh. Pepohonan itu juga menjadi habitat alami bagi beraneka biota air payau, menjadi penahan angin laut, serta peneduh dari terik matahari.

Akan tetapi, tidak mudah bagi Tata mewujudkan hal itu. Salah satu kesulitannya adalah tidak tersedianya bibit pohon. Kawasan pantai di sekitar Sungaibuntu umumnya tidak memiliki ”sabuk hijau”.

Tata pun harus berjalan kaki 3-5 kilometer ke timur atau barat menyusuri pantai untuk mengumpulkan bibit. Dia memungut setiap biji yang jatuh dan telah tumbuh menjadi tunas atau anakan pohon yang muncul di dekat induknya.

Calon-calon bibit itu kemudian dia rawat dalam pot-pot plastik. Dia juga menyediakan lahan khusus untuk pembibitan yang aman dari gelombang laut. Setelah berusia 2-3 bulan, Tata memindahkan bibit-bibit pohon tersebut ke tepi laut.

Segenap usaha itu lebih banyak dia jalani sendiri. Sebab, meski telah lima tahun menjabat sebagai Kepala Desa Sungaibuntu (ketika itu tahun 2003), Tata kesulitan menggalang dukungan dari warganya. Warga umumnya abai dengan hal itu. Hanya beberapa orang yang secara sukarela membantunya mengumpulkan dan menanam bibit pohon.

”Saya merasa butuh ribuan bibit karena tingkat keberhasilan tumbuhnya rendah. Namun, karena sulit mengumpulkan bibit dalam jumlah besar, saya membayar siapa saja yang datang ke sini membawa anakan pohon, ketika itu Rp 200 per bibit,” ujarnya.

Menurut Tata, hanya sekitar 60 persen bibit yang tumbuh dengan baik hingga usia 2-3 bulan. Setelah dipindahkan ke lokasi penanaman di tepi pantai, lebih dari separuh bibit mati karena tergerus gelombang atau tidak tahan dengan perubahan cuaca.

Tata memutar otak untuk menyiasatinya. Dia, antara lain, menggunakan pot plastik dan bambu untuk pembibitan, mengatur jarak tanam, dan mengikat 3-5 bibit sekaligus di satu titik penanaman. Usaha otodidak ini relatif lebih berhasil ketimbang cara-cara sebelumnya.

Tata merasa usahanya menghijaukan kawasan pantai belum selesai karena baru sekitar satu kilometer panjang pantai yang berhasil ditanami. Belasan ribu bibit telah mati dan karena itu dia merasa perlu terus menambah cadangan bibit pohon.

Beberapa tahun terakhir, Desa Sungaibuntu mendapat bantuan bibit dari sejumlah perusahaan besar di Karawang. Koleksi bibit pun meningkat. Kini Tata mempersilakan warganya mengambil bibit secara gratis untuk ditanam di tambak atau di pekarangan rumah mereka masing-masing.

Wisata

Tata juga membangun kawasan itu dengan mendirikan warung makan dan mempercantik pantai. Pada tahap awal dia membangun empat warung minuman dan makanan ringan serta masakan khas laut, seperti ikan, udang, dan cumi bakar. Hasil tangkapan nelayan itu dibeli dari tempat pelelangan ikan desa setempat.

Usaha itu ternyata menarik minat pengunjung. Pada tahun-tahun selanjutnya warga mulai membangun warung. Jumlah warung terus meningkat seiring bertambahnya jumlah pengunjung, terutama pada musim libur. Warga pun sepakat mengelola kawasan dan menamainya Pantai Samudera Baru.

Obyek wisata Pantai Samudera Baru dikelola sendiri oleh desa dan Tata Husen sebagai ketua. Belasan pemuda desa pun membantu mengelola tiket masuk, parkir, retribusi pedagang, dan keamanan. Jumlah warga yang terlibat pengelolaan lebih banyak pada hari libur.

Tata menambahkan, pengelola mematok tarif masuk Rp 5.000 per orang. Pendapatan dari usaha itu dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur wisata, seperti meningkatkan kualitas jalan di tepi pantai, membangun panggung hiburan, fasilitas kamar mandi, dan menghijaukan kawasan.

Selain itu, sebagian pendapatan disetor sebagai pendapatan asli daerah. Tahun 2008 jumlahnya Rp 8 juta. Namun, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karawang mencatat pendapatan dari Pantai Samudera Baru relatif stabil daripada Pantai Tanjung Baru atau Pantai Pisangan.

Pantai Tanjung Baru dan Pisangan bahkan cenderung tak terurus karena tarik ulur pengelolaan antara pemerintah desa, investor, dan pemerintah kabupaten. Selain sebagian fasilitasnya mangkrak, kawasan pantai juga semakin tergerus abrasi, seperti terjadi di sebagian pesisir utara Karawang lainnya.

Usaha Tata belum berakhir. Belasan ribu bibit yang dia tanam memang telah mati, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya menghijaukan sekaligus menghidupkan kawasan pantai.

Source : lingkunganglobal.blogspot.com

Ada 2 Komentar Untuk Artikel Ini. Posting komentar Anda

Bumi @ Jumat, 22 Januari 2010 | 15:18 WIB
Jempol buat Pal Lurah , saya salut masih ada lurah yang perhatikan lingkungan dari pada tanan bengkok, jangan putus asa pak Lurah, hubungi Disbun/pertanian

Sausan Yusria @ Jumat, 22 Januari 2010 | 09:49 WIB
Oke sekali. Kami mendukung upaya dan kerja kerasmu, Pak Lurah. Semoga ada lurah-lurah lain yang inovatif dan kreatif sepertimu. Aku doakan untuk kesuksesanmu.

Kamis, 21 Januari 2010

Kontroversi Pungutan Hutan Tumpangsari di Indramayu

Hindari Premanisme Tumpangsari Perhutani Hapuskan Pungutan

Indramayu, Hutbun Indramayu – Ribuan penggarap lahan tumpangsari di bawah tegakan kayu putih di kawasan Perum Perhutani KPH Indramayu, bisa lega karena terhitung musim tanam (MT) 2010 nanti, semua jenis pungutan dihapuskan.
Ketegasan itu disampaikan Kadis Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) Kabupaten Indramayu Drs H Yayan Mulyantoro, MM didampingi Kabid Produksi dan Pengusahaan Ir Tini Kartini,MM beberapa waktu yang lalu.
Pembebasan pungutan ini bukan saja pungutan yang disetorkan ke Perum Perhutani, namun meliputi pula pungutan yang diberlakukan sesuai Perda No.13/2002 yang disetorkan ke kas daerah. Alasan penghapusan dimaksud kata Yayan, untuk menghindari konflik di lapangan yang kerap muncul pada saat musim panen yang dibarengi dengan dilakukannya pemungutan oleh petugas pemungut.
Mengingat pada saat musim panen di lapangan selalu muncul konflik, sementara PAD yang ditargetkan tidak pernah terpenuhi, maka terhitung MT 2010 berbagai pungutan yang bersumber dari lahan tumpangsari di bawah tegakan kayu putih dihapus. Untuk pengganti PAD, ke depan, menurut Yayan, akan dibahas sharing antara Pemkab.Indramayu dengan Perum Perhutani setempat.
Dihapuskannya pungutan berdampak mengurangi premanisme akan berkurang, juga diharapkan tingkat kepedulian atau tanggung jawab para pernggarap terhadap lahan garapannya akan meningkat. Kalau para penggarap memiliki rasa peduli yang tinggi terhadap lahan garapannya, hasil panen kayu putih akan meningkat, tandas Yayan.
Sementara itu salah satu penggarap dari Petak X Sukaslamet Kecamatan Kroya M.Rois ketika dihubungi Pelita Rabu (23/12), menyambut gembira atas dihapusnya pungutan yang dibebankan kepadanya. Menurutnya, pungutan yang diberlakukan dan hal itu tertuang dalam surat perjanjian kerja sama (PKS) masih dalam batas kewajaran, namun yang sangat disayangkan pada saat musim panen tiba, petugas pemungut dalam melakukan tugasnya saling mendahului.
Melihat kenyataan ini, kata Rois, wajar kalau di lapangan banyak ditemukan kuitansi pasar, dan wajar pula kalau target PAD tidak pernah tercapai. Kami menyambut gembira dengan dihapusnya semua jenis pungutan yang dibebankan kepada para penggarap lahan tumpangsari di bawah tegakan kayu putih. Karena dengan dihapusnya pungutan tersebut, merupakan bukti kepedulian pemerintah terhadap rakyat kecil, tuturnya.
Rois menambahkan, sebagai bentuk rasa terimakasihnya, ia akan melakukan perawatan maksimal terhadap kayu puith yang ada di wilayah garapannya.
Diberitakan sebelumnya, meski sudah duduk satu meja antara Perum Perhutani, Dinas Hutbun, lembaga masyarakat daerah hutan (LMDH) dalam hal melakukan pungutan dan hal itu tertuang dalam PKS, belakangan kebersamaan itu hilang karena setiap akan melakukan pungutan mereka selalu berebut (Pelita, 13 Juni 2009, Red). (Pelita/ck-103)

Kasubsi PHBM Bantah Semua Pungutan Lahan Tumpangsari Dihapuskan

Laporan:

Menyikapi pemberitaan Hindari Premanisme Tumpangsari Perhutani Hapuskan Pungutan Kasubsi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada Perum Perhutani KPH Indramayu Darto angkat bicara.
Kasubsi PHBM Bantah Semua Pungutan Lahan Tumpangsari Dihapuskan Indramayu, Pelita Menyikapi pemberitaan Hindari Premanisme Tumpangsari Perhutani Hapuskan Pungutan Kasubsi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada Perum Perhutani KPH Indramayu Darto angkat bicara. Tidak benar kalau pungutan yang bersumber dari lahan tumpangsari di bawah tegakan kayu putih dihapuskan semua. Penghapusan pungutan itu hanya khusus diberlakukan pada lokasi penanaman tumpangsari yang dilaksanakan pada tahun 2009 saja, selebihnya tetap dikenai pungutan sesuai konsep perjanjian kerja sama (PKS), tandas Darto di ruangannya kemarin (29/12). Terkait hal dimaksud, pihaknya sudah memberitahukan kepada Dinas Hutbun Kab Indramayu. Pertimbangan penghapusan pungutan itu kata Darto untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu putih, dan alasan lainanya karena pada masa penanaman membutuhkan perawatan dan pemeliharaan serius, selanjutnya setelah usia tanaman kayu putih di atas dua tahun, pungutan tetap diberlakukan kembali. Belum ada rasa Memiliki Darto berkilah, kalau saja para penggarap tumpangsari memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemeliharaan kayu putih, seperti tidak ada perempelan daun, jalur bebas 1,5 meter terpenuhi, rumput bersih, pihaknya mungkin akan memper timbangkan untuk membebaskan pungutan. Bagaimana mungkin pihaknya akan mempertimbangkan bebas pungutan, kalau pada praktiknya jauh dari harapan, dimana mereka lebih mementingkan pada pemeliharaan tanaman padinya saja, belum lagi jalur bebas hanya tersisa setengahnya bahkan tidak ada sama sekali, perempelan masih tinggi dan rumput tumbuh subur. Kalau para penggarap sudah ada rasa memliliki terhadap tanaman kayu putih, mungkin saja semua pungutan dihapuskan, ungkapnya. Belum adanya rasa memiliki dimaksud, pihaknya terus melakukan pembinaan dari satu lokasi ke lokasi lainnya, namun demikian ia mengakui mengingat jumlah luas lahan yang tidak sebanding dengan jumlah petugas yang ada, maka hasilnya di satu sisi dilakukan pembinaan di sisi lain perilaku belum ada rasa memiliki masih tetap terjadi. Kalau semua pihak menyadari akan tupoksinya, insya Allah harapan Perum Perhutani KPH Indramayu untuk mengenalkan Kota Indramayu selain dikenal sebagai Kota Mangga juga Kota Kayu Putih akan terwujud, tegasnya. Ketika disinggung kalau pungutan masih diberlakukan, maka untuk menyikapi premanisme pada saat musim panen dan menghindari tumpang tindih pungutan, solusinya adalah sosialisasi. Sosialisasi terus dilakukan melalui Asisten Perhutani (Asper) setempat, urai Darto. Sementara itu menurut salah satu penggarap di petak X yang enggan dikorankan, hingga memasuki musim tanam (MT) 2009-2010 sejauh ini belum ada pihak yang melakukan sosialisasi di lokasinya. Untuk di tempat lain, ia mengakui tidak tahu. Sosialisasi idealnya dilakukan di lokasi penanamanan, karena kalau sosialisasi dilakukan di kantor desa, hasilnya tidak efektif, karena yang menghadiri sosialisasi tersebut belum tentu para penggarap tetapi masyarakat yang tidak ada kaitannya dengan lahan tumpangsari, sarannya. Ia menambahkan, dengan adanya sosialisasi tentunya semua pihak akan menjadi paham terkait tupoksinya, sehingga kalau semua pihak saling memahami, insya Allah tumpang tindih pungutan tidak akan terulang kembali. Diberitakan sebelumnya, Ribuan penggarap lahan tumpangsari di bawah tegakan kayu putih di kawasan Perum Perhutani KPH Indramayu, yang kerap menjadi obyek pungutan kini bernafas lega, pasalnya terhitung musim tanam (MT) 2010 semua jenis pungutan dihapuskan. Dikatakan Kadis Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun) Kab Indramayu Drs H Yayan Mulyantoro, MM didampingi Kabid Produksi dan Pengusahaan Ir Tini.

 

My Blog List

Site Info

free counters

Followers